(Part I)
Anak itu kupanggil lala. Paras cantik nan lucu itu membuat mata mana yang bisa memalingkan pandangannya ke arah lala. Lala lahir ditengah-tengah penatnya kota kecil di sebelah barat negeri ini. Bermodalkan kardus untuk alas tidur membuat lala menjadi anak yang kuat. Bagaimana tidak? Ditengah teriknya kota ini membuat lala harus bertahan hanya dengan sebuah kardus, dinginnya angn malam yang menusuk hingga ketulang sudah tak lagi lala rasakan di setiap malamnya. Anak seumurnya mungkin saat ini hanya duduk manis sambil menikmati masa kanak-kanaknya. Sudah 6 tahun lala ditinggal mati oleh ibunda tercinta. Ibunya meninggal pada saat ia lahir. Ayahnya tak tahu kemana perginya setelah pernikahan itu terjadi. Ibunya berjuang seorang diri demi membesarkan lala. Namun, apa daya penyakit yang dimilikinya sudah tak dapat lagi ia tahan. Tubuhnya mulai melemah dan tak ada upaya lain selain hanya tidur terbaring diantara tumpukan kardus-kardus itu. Keterbatasan biaya juga membuat ibunda lala tak dapat berbuat apa selain hanya berdoa kepada Allah dan berharap ada seseorang yang menolongnya. Kini, lala hanya tinggal dengan seorang nenek yang usianya pun sudah tidak dapat dikatakan muda. Pandangannya mulai berbayang, berdiri pun sudah tidak sempurna, badannya telah bungkuk. Lala tak dapat berharap banyak dari sang nenek, di usianya yang masih terbilang belia sudah harus memikirkan bagaimana kerasnya berjuang untuk hidup dan menghidupi seorang nenek yang sakit-sakitan.
Anak itu kupanggil lala. Paras cantik nan lucu itu membuat mata mana yang bisa memalingkan pandangannya ke arah lala. Lala lahir ditengah-tengah penatnya kota kecil di sebelah barat negeri ini. Bermodalkan kardus untuk alas tidur membuat lala menjadi anak yang kuat. Bagaimana tidak? Ditengah teriknya kota ini membuat lala harus bertahan hanya dengan sebuah kardus, dinginnya angn malam yang menusuk hingga ketulang sudah tak lagi lala rasakan di setiap malamnya. Anak seumurnya mungkin saat ini hanya duduk manis sambil menikmati masa kanak-kanaknya. Sudah 6 tahun lala ditinggal mati oleh ibunda tercinta. Ibunya meninggal pada saat ia lahir. Ayahnya tak tahu kemana perginya setelah pernikahan itu terjadi. Ibunya berjuang seorang diri demi membesarkan lala. Namun, apa daya penyakit yang dimilikinya sudah tak dapat lagi ia tahan. Tubuhnya mulai melemah dan tak ada upaya lain selain hanya tidur terbaring diantara tumpukan kardus-kardus itu. Keterbatasan biaya juga membuat ibunda lala tak dapat berbuat apa selain hanya berdoa kepada Allah dan berharap ada seseorang yang menolongnya. Kini, lala hanya tinggal dengan seorang nenek yang usianya pun sudah tidak dapat dikatakan muda. Pandangannya mulai berbayang, berdiri pun sudah tidak sempurna, badannya telah bungkuk. Lala tak dapat berharap banyak dari sang nenek, di usianya yang masih terbilang belia sudah harus memikirkan bagaimana kerasnya berjuang untuk hidup dan menghidupi seorang nenek yang sakit-sakitan.
Sore itu lala bertemu seorang perempuan lusuh dengan membawa
tumpukan sampah yang ia taruh dipunggung. Lala pun bertanya pada ibu itu “Permisi
bu, ibu sedang apa? Mengapa ibu membawa tumpukan sampah-sampah yang sangat
kotor dan baunya pun tak sedap”, ibu itu pun menjawab “ibu sedang memulung nak”
jawab ibu dengan wajah penuh dengan keringat. “Memulung itu apa bu? Untuk apa
ibu lakukan ini semua?” tanya lala. “ibu memulung demi anak ibu nak, semua
sampah-sampah yang ibu kumpulkan ini demi menghidupi anak-anak ibu dan juga
suami ibu yang harus berobat kerumah sakit” jawab ibu dengan lirih. “Bu,
bolehkah aku ikut ibu memulung agar aku dapat menukarkan sampah-sampah ini
dengan uang bu” pinta lala. “Kalau kamu mau boleh saja, tapi jangan kamu ambil
sampah-sampah di komplek ini. Karena ini adalah bagianku. Pergilah ke arah sana
(sambil menunjuk ke jalan yang lain) untuk mendapatkan sampah-sampah, tapi
berhati-hati lah. Kamu masih terlalu kecil untuk mengerjakan pekerjaan berat
ini, nak” ada rasa cemas yang ibu itu tampakan melihat lala yang terlalu kecil
untuk membawa beban-beban ini
Keesokan harinya, lala pun pergi kejalan yang ibu itu
tunjukan padanya. Satu per-satu rumah ia kunjungi demi mengais sampah yang ada
di dalamnya. Hari itu lala belum makan, lala berharap ada sisa makanan dari sampah-sampah yang ia kunjungi. Alhamdulillah, ada sebungkus sisa nasi yang ia temukan. baunya sudah tak sedap, nasinya sudah mengering, belum lagi sudah muncul binatang-binatang kotor yang ada dari sampah. Lala merasa jijik dengan makanan itu, namun jika ia tak makan, genap sudah hampir 2 tak ada sesuap nasi yang masuk ke dalam perut Lala. selain itu, lala harus memikirkan kondisi sang nenek yang tak mungkin ia biarkan di gubuk seorang diri. Lala buang jauh pikiran jijik yang ia rasakan, ia bersihkan makanan itu sedikit demi sedikit hingga terlihat pantas untuk dimakan, dengan mengucap basamallah lala lahap sekali menyantap makanan itu.
Sudah lama aku mengenal gadis kecil itu, lala memiliki mata yang bulat, wajah yang putih dan bersih dan suara khas lala yang sampai saat ini masih terngiang dalam benakku. Sungguh, rasanya tak bisa ku lupakan wajah manis yang tersirat dari dirinya. Senyumnya yang selalu ia berikan padaku di saat senja datang saat aku pulang kuliah. Sudah hampir 2 pekan aku tak melihat wajahnya di sudut kota ataupun di taman yang biasa aku temukan ia bersama boneka teddy bear lusuh yang selalu ia bawa kemana-mana. Aku mulai mencari kemanakah gadis mungil itu, sang pemberiku semangat disaat aku letih setelah seharian penuh aku bekerja. Aku tanya keberadaan lala dengan pedagang kaki lima disekitar, kupikir mungkin mereka mengenal lala karena lala sering berbicara dengan salah satu pedagang yang ada disini. Seorang pedagang berkata padaku "Ade cari anak kecil berambut panjang itu? Sudah lama nak ia tak mampir ke warung ibu. Terakhir dia cerita dengan ibu kalau neneknya sakit keras dan ia harus menjaga neneknya dirumah", saat itu aku berpikir bagaimana bisa seorang anak kecil menjaga seorang nenek yang sakit parah. Aku pun belum tentu jika aku dikondisikan seperti kondisi lala. Tak pikir panjang, aku pun bertanya lagi pada seorang ibu penjaga warung kecil tersebut. "Ibu tau nggak kira-kira lala tinggal dimana?", "Wah ibu kurang tau nak, tapi ia dulu pernah berkata kalau rumahnya berada di pinggir jalan delima dekat jembatan merah itu nak. Mungkin kamu bisa tanyakan dengan warga disekitar sana" ibu itu menjabarkan rumah lala padaku. Sesampainya di jalan itu, kutemukan rumah lala disudut jembatan yang ibu tadi katakan padaku. Aku mengenali betul suara lala, kudengar seperti ada suara lala yang mengarah dari rumah yang bisa ku bilang adalah gubuk yang tak layak untuk ditempati. Sesampainya didepan rumah itu, ku ketuk pintunya, ku ucapkan salam tapi tak kunjung ada jawaban dari rumah itu. Akhirnya kuberanikan memanggil lala dari arah luar. Sebelum selesai ku panggil ada seorang bapak tua menyapaku "Permisi dek, adek cari nenek ros?", "nenek ros?" tanyaku dalam hati. Ahh . . mungkin nenek ros itu adalah nenek dari lala. "emmm . . . iya pak. nenek ros yang tinggal dirumah ini? benarkah ia tinggal bersama cucunya dirumah ini?" tanyaku kepada bapak tua itu. "betul dek, tapi sudah lama ia tak tinggal disini. Memangnya kalau bapak boleh tau, adek ini siapa? karena setau saya nenek ros hanya memiliki 1 orang cucu. Ia tak punya lagi saudara yang lain." bapak itu mulai bertanya menanyakan perihal siapa diriku. "Saya hanya seorang mahasiswi pak, kebetulan sedang menyelesaikan thesis saya. Kebetulan lala (cucu dari nenek ros) yang menjadi bahan penelitian saya. saya sering bertemu ros di taman juanda. Sempat ngobrol-ngobrol juga dengan lala. Namun, belakangan ini saya tidak pernah bertemu lala lagi, maka dari itu pak saya datang kesini untuk menemui lala. Bapak tau keberadaannya pak?".
"Nak, lala dan neneknya .............."
-bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar