Selasa, 18 Maret 2014

Sang pelangi dalam penulisanku


(Lanjutan part2)

Oh iya, perkenalkan namaku Ranum. Aku salah satu mahasiswi di universitas negeri ternama di negeri ini. Keseharianku aku aktif dalam organisasi manapun baik intern maupun ekstern kampus. Selain itu aku mengisi kekosongan hari-hariku dengan mengajarkan anak-anak remaja di sekolah luar biasa di kota sebrang. Hemm . . cukup lumayan jauh dari rumahku, namun pekerjaan ini membuatku nyaman dan membuatku lebih bermanfaat ketimbang aku habiskan waktuku di mall dengan teman-teman sebayaku. aku anak semata wayang. Aku hampir sama dengan lala, sama-sama ditinggal pergi oleh ibuku. Ya, kuharap ibuku sudah tenang disisi Allah dan mendapat tempak yang indah. Kini aku hanya punya seorang ayah yang sangat ku cinta. Ayahku mempunyai perusahaan kain ternama di negeri tercinta ini. Biasanya ia habiskan hari-harinya di lapangan. Aku sadari betul, ia lakukan semua itu demi menghidupiku dan untuk menyelesaikan studi-ku. 2tahun rasanya aku merasakan kehilangan sosok ibu yang selalu ku jadikan tempat cerita. Ibuku bagai pelita dalam hidupku, rasanya disaat penulisan akhir ini ingin ku paparkan semua yang ada dalam hatiku. Namun, Allah begitu menyayanginya. Sangat terlalu cepat bagiku kehilangan ibu. Rasanya aku belum sempat membalas semua kebaikan yang telah ibu lakukan padaku. Kini aku tak boleh meratapi kesedihanku, sungguh bukanlah sikap seorang muslimah yang baik jika aku melakukan hal itu. Yang terpenting adalah do'a yang harus ku panjatkan untuk sang ibu tercinta. Semoga kelak aku dapat mencontoh teladan yang telah ibu berikan di keluarga mungil ini.

Tak terasa waktuku tinggal 3 bulan lagi untuk menyelesaikan thesis ku ini. Pikiranku tak menentu, bingung rasanya harus berbuat apa. Dosen pembimbingku tak kunjung jua memberikanku Acc untuk melanjutkan penulisan ini ke BAB selanjutnya. Tapi aku tak boleh menyerah, sungguh garis finish itu sudah ada di depan mataku. Ku coba temui hari demi hari diruangannya yang selalu sepi. Harapan selalu kuberikan, berharap ia datang dan menandatangani tumpukan-tumpukan kertas yang kubawa. Hingga pada akhirnya hari ini adalah H-1 bulan. Semua teman-temanku sudah daftar sidang. Bagaimana ini?? Aku harus menyelesaikan di tahun ini. Aku nggak boleh terlambat apalagi sampai mengulang ditahun selanjutnya. Berbagai upaya ku lakukan, dan alhasil H-2 minggu ku dapatkan goresan tanda tangan  itu. Rasa syukur yang ada dalam hati ini sudah tak bisa lagi ku katakan. Ingin rasanya bertemu lala sebagai tanda terimakasih karena telah menjadi inspirasiku dalam penulisan ini. 

Alhamdulillah !!!! Sidang berjalan lancar dan aku dinyatakan LULUS dengan hasil yang baik dan gelar ini ku dapatkan juga. Bagiku gelar bukanlah segalanya, namun cukup melihat ayah tersenyum gagah di podium itu melihat aku berdiri dengan cantik memakai kebaya indah ini sudah cukup bagiku untuk membalas jerih payah yang ia lakukan untukku. Bagiku, tak ada yang paling membahagiakan kecuali melihat ayah tersenyum bahkan menangis bangga melihat aku. 

Hey mentari, inilah pelangi indah yang ku persembahkan khusus untuk ayahku tercinta. tetaplah menjadi pelangi yang indah dalam hidupku. Ku percaya engkau selalu hadir disaat aku merasa mendung itu datang. Senja selalu setia dalam menunggu kedatanganmu. Biar rasa ini menjadi saksi dimana engkaulah salah satu alasanku untuk berjuang. Pelangi yang tak pernah padam, pelangi yang selalu memberikan warna-warni ditengah mendung datang. Dan berjanjilah, tetaplah menjadi pelangi terindah didalam hidupku :)  

kini tiba saatnya . . . . . 

-bersambung-
Read More »

Kupanggil ia 'Lala'

(Part I)

Anak itu kupanggil lala. Paras cantik nan lucu itu membuat mata mana yang bisa memalingkan pandangannya ke arah lala. Lala lahir ditengah-tengah penatnya kota kecil di sebelah barat negeri ini. Bermodalkan kardus untuk alas tidur membuat lala menjadi anak yang kuat. Bagaimana tidak? Ditengah teriknya kota ini membuat lala harus bertahan hanya dengan sebuah kardus, dinginnya angn malam yang menusuk hingga ketulang sudah tak lagi lala rasakan di setiap malamnya. Anak seumurnya mungkin saat ini hanya duduk manis sambil menikmati masa kanak-kanaknya. Sudah 6 tahun lala ditinggal mati oleh ibunda tercinta. Ibunya meninggal pada saat ia lahir. Ayahnya tak tahu kemana perginya setelah pernikahan  itu terjadi. Ibunya berjuang seorang diri demi membesarkan lala. Namun, apa daya penyakit yang dimilikinya sudah tak dapat lagi ia tahan. Tubuhnya mulai melemah dan tak ada upaya lain selain hanya tidur terbaring diantara tumpukan kardus-kardus itu. Keterbatasan biaya juga membuat ibunda lala tak dapat berbuat apa selain hanya berdoa kepada Allah dan berharap ada seseorang yang menolongnya. Kini, lala hanya tinggal dengan seorang nenek yang usianya pun sudah tidak dapat dikatakan muda. Pandangannya mulai berbayang, berdiri pun sudah tidak sempurna, badannya telah bungkuk. Lala tak dapat berharap banyak dari sang nenek, di usianya yang masih terbilang belia sudah harus memikirkan bagaimana kerasnya berjuang untuk hidup dan menghidupi seorang nenek yang sakit-sakitan.

Sore itu lala bertemu seorang perempuan lusuh dengan membawa tumpukan sampah yang ia taruh dipunggung. Lala pun bertanya pada ibu itu “Permisi bu, ibu sedang apa? Mengapa ibu membawa tumpukan sampah-sampah yang sangat kotor dan baunya pun tak sedap”, ibu itu pun menjawab “ibu sedang memulung nak” jawab ibu dengan wajah penuh dengan keringat. “Memulung itu apa bu? Untuk apa ibu lakukan ini semua?” tanya lala. “ibu memulung demi anak ibu nak, semua sampah-sampah yang ibu kumpulkan ini demi menghidupi anak-anak ibu dan juga suami ibu yang harus berobat kerumah sakit” jawab ibu dengan lirih. “Bu, bolehkah aku ikut ibu memulung agar aku dapat menukarkan sampah-sampah ini dengan uang bu” pinta lala. “Kalau kamu mau boleh saja, tapi jangan kamu ambil sampah-sampah di komplek ini. Karena ini adalah bagianku. Pergilah ke arah sana (sambil menunjuk ke jalan yang lain) untuk mendapatkan sampah-sampah, tapi berhati-hati lah. Kamu masih terlalu kecil untuk mengerjakan pekerjaan berat ini, nak” ada rasa cemas yang ibu itu tampakan melihat lala yang terlalu kecil untuk membawa beban-beban ini

Keesokan harinya, lala pun pergi kejalan yang ibu itu tunjukan padanya. Satu per-satu rumah ia kunjungi demi mengais sampah yang ada di dalamnya. Hari itu lala belum makan, lala berharap ada sisa makanan dari sampah-sampah yang ia kunjungi. Alhamdulillah, ada sebungkus sisa nasi yang ia temukan. baunya sudah tak sedap, nasinya sudah mengering, belum lagi sudah muncul binatang-binatang kotor yang ada dari sampah. Lala merasa jijik dengan makanan itu, namun jika ia tak makan, genap sudah hampir 2 tak ada sesuap nasi yang masuk ke dalam  perut Lala. selain itu, lala harus memikirkan kondisi sang nenek yang tak mungkin ia biarkan di gubuk seorang diri. Lala buang jauh pikiran jijik yang ia rasakan, ia bersihkan makanan itu sedikit demi sedikit hingga terlihat pantas untuk dimakan, dengan mengucap basamallah lala lahap sekali menyantap makanan itu.

Sudah lama aku mengenal gadis kecil itu, lala memiliki mata yang bulat, wajah yang putih dan bersih dan suara khas lala yang sampai saat ini masih terngiang dalam benakku. Sungguh, rasanya tak bisa ku lupakan wajah manis yang tersirat dari dirinya. Senyumnya yang selalu ia berikan padaku di saat senja datang saat aku pulang kuliah. Sudah hampir 2 pekan aku tak melihat wajahnya di sudut kota ataupun di taman yang biasa aku temukan ia bersama boneka teddy bear lusuh yang selalu ia bawa kemana-mana. Aku mulai mencari kemanakah gadis mungil itu, sang pemberiku semangat disaat aku letih setelah seharian penuh aku bekerja. Aku tanya keberadaan lala dengan pedagang kaki lima disekitar, kupikir mungkin mereka mengenal lala karena lala sering berbicara dengan salah satu pedagang yang ada disini. Seorang pedagang berkata padaku "Ade cari anak kecil berambut panjang itu? Sudah lama nak ia tak mampir ke warung ibu. Terakhir dia cerita dengan ibu kalau neneknya sakit keras dan ia harus menjaga neneknya dirumah", saat itu aku berpikir bagaimana bisa seorang anak kecil menjaga seorang nenek yang sakit parah. Aku pun belum tentu jika aku dikondisikan seperti kondisi lala. Tak pikir panjang, aku pun bertanya lagi pada seorang ibu penjaga warung kecil tersebut. "Ibu tau nggak kira-kira lala tinggal dimana?", "Wah ibu kurang tau nak, tapi ia dulu pernah berkata kalau rumahnya berada di pinggir jalan delima dekat jembatan merah itu nak. Mungkin kamu bisa tanyakan dengan warga disekitar sana" ibu itu menjabarkan rumah lala padaku. Sesampainya di jalan itu, kutemukan rumah lala disudut jembatan yang ibu tadi katakan padaku. Aku mengenali betul suara lala, kudengar seperti ada suara lala yang mengarah dari rumah yang bisa ku bilang adalah gubuk yang tak layak untuk ditempati. Sesampainya didepan rumah itu, ku ketuk pintunya, ku ucapkan salam tapi tak kunjung ada jawaban dari rumah itu. Akhirnya kuberanikan memanggil lala dari arah luar. Sebelum selesai ku panggil ada seorang bapak tua menyapaku "Permisi dek, adek cari nenek ros?", "nenek ros?" tanyaku dalam hati. Ahh . . mungkin nenek ros itu adalah nenek dari lala. "emmm . . . iya pak. nenek ros yang tinggal dirumah ini? benarkah ia tinggal bersama cucunya dirumah ini?" tanyaku kepada bapak tua itu. "betul dek, tapi sudah lama ia tak tinggal disini. Memangnya kalau bapak boleh tau, adek ini siapa? karena setau saya nenek ros hanya memiliki 1 orang cucu. Ia tak punya lagi saudara yang lain." bapak itu mulai bertanya menanyakan perihal siapa diriku. "Saya hanya seorang mahasiswi pak, kebetulan sedang menyelesaikan thesis saya. Kebetulan lala (cucu dari nenek ros) yang menjadi bahan penelitian saya. saya sering bertemu ros di taman juanda. Sempat ngobrol-ngobrol juga dengan lala. Namun, belakangan ini saya tidak pernah bertemu lala lagi, maka dari itu pak saya datang kesini untuk menemui lala. Bapak tau keberadaannya pak?".
"Nak, lala dan neneknya .............."


-bersambung-
Read More »